Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 21
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, bahwa BNPB dan BPBD berfungsi untuk mengoordinasikan seluruh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi serta Negara/Lembaga donor dalam penanggulangan bencana Penanganan masalah kebencanaan bukan merupakan kewenangan tunggal BNPB dan BPBD namun merupakan kewajiban semua pihak.
Namun kenyataannya fungsi
koordinasi multipihak dimaksud belum berjalan optimal karena belum adanya
komitmen masing-masing pihak, terutama dalam hal upaya pengurangan risiko
bencana pada saat pra bencana. Belum ada pemetaan terhadap fungsi-fungsi di
masing-masing instansi yang melakukan pengurangan risiko bencana sesuai
kewenangannya. Kalaupun ada komitmen dari beberapa instansi pemerintah dan non
pemerintah dalam pengelolaan risiko bencana dilakukan pada saat
terjadi bencana dan pasca bencana.
Selanjutnya
dalam hal manajemen komunikasi dan informasi dalam membangun kerjasama,
kemitraan, kolaborasi dan koordinasi baik internal maupun eksternal
(Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, LSM, Lembaga Usaha,Perguruan Tinggi,
dan Negara/Lembaga Donor) belum optimal dilakukan. Serta berbagai pihak belum
sepenuhnya memperhatikan aspek kewilayahan dalam pengelolaan risiko bencana. Sehingga
sampai saat ini ketahanan masyarakat terhadap bencana belum dapat diwujudkan. Dan apabila di akumulasi
kejadian bencana semenjak Tahun 2008 sampai dengan 2017 cenderung terjadi
peningkatan.
Angka statistik menyebutkan, sebanyak
148,4 juta warga Indonesia tinggal di titik-titik rawan bencana gempa bumi, 5 juta warga lainnya berada di daerah rawan tsunami seperti : sepanjang pesisir
Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Jawa-Bali, sampai ke pulau-pulau
sepanjang NTB dan NTT. Selain itu, 1,2 juta penduduk lainnya hidup di daerah
rawan erupsi gunung berapi. Yang
mengkhawatirkan kita terdapat sekitar
63.7 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup di daerah rawan banjir dan 40,9 juta hidup di tanah-tanah pijakan yang
rawan longsor.
Selama tahun 2016 kemarin,
kejadian bencana alam paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah, catatan
bencana di Jateng meningkat sampai 639 kali kejadian dalam setahun. Diikuti
oleh catatan bencana di Jawa Timur sebanyak 409 kejadian, di Jawa Barat 329 kali bencana, di
Kalimantan Timur 190 kali bencana, dan di Aceh 83 kali bencana. Kelima
Provinsi tersebut tercatat oleh BNPB sebagai provinsi dengan catatan bencana terbanyak di
Indonesia sepanjang tahun 2016. Sedangkan Kabupaten paling banyak dirundung bencana
sepanjang tahun 2016 adalah Cilacap dengan 100 kali kejadian, kemudian Magelang
dengan 56 kali kejadian, Wonogiri 56 kali, Banyumas 53 kali, dan Temanggung 50
kali.
Sehingga berdasarkan data tersebut, maka Negara harus hadir untuk
memberikan kenyamanan bagi masyarakat untuk hidup terbebas dari risiko bencana
yang selalu hadir setiap waktu.
Maka melalui Rencana Aksi Reformasi birokrasi, masing-masing pihak perlu melakukan penguatan
melalui sinergi pengelolaan risiko bencana.
Prioritas Aksi Reformasi
Sesuai tujuan
dan hasil yang diharapkan, kebutuhan untuk aksi terfokus dalam lintas sektor
baik di tingkat lokal maupun tingkat Nasional adalah pada
empat bidang prioritas sebagai berikut:
1. Memahami
risiko bencana.
2. Memperkuat
tata kelola risiko bencana
untuk
mengelola risiko bencana.
3. Berinvestasi
dalam pengurangan risiko
bencana
untuk ketangguhan.
4. Meningkatkan
kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif dan untuk membangun kembali
dengan lebih baik dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Maka
untuk mewujudkan masyarakat yang tahan bencana dengan penguatan multipihak
melalui sinergi pengelolaan risiko bencana, direkomendasikan hal-hal sebagai
berikut :
1.
Menerbitkan
Instruksi Presiden tentang pembentukan Task
Force Pengelolaan Risiko
Bencana di
masing-masing
Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah yang dikoordinasikan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Adapun Task
Force Pengelolaan Risiko
Bencana ini melaksanakan upaya-upaya pengurangan risiko bencana di instansinya
sesuai kewenangannya.
2.
Optimalisasi fungsi Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam melakukan
Pengelolaan
Risiko Bencana (PRB). Perlu ada pemetaan fungsi masing-masing Kementerian
/Lembaga, Pemerintah Daerah,LSM,Perguruan tinggi dan Negara Donor terkait
kebencanaan, yang diperkuat dengan regulasi yang sesuai.
3.
Pembentukan
Forum Lembaga Usaha (FLU) untuk menghimpun peran serta Lembaga Usaha dalam upaya Pengelolaan Risiko Bencana yang
bersinergi dengan Pemerintah, selanjutnya diatur dengan Peraturan Presiden
4.
Memberikan
prioritas alokasi anggaran, termasuk anggaran kontijensi, terhadap program Pengelolaan Risiko Bencana sesuai dengan
kebutuhan masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam
substansi arah kebijakan anggaran belanja Pemerintah.
5.
Memperkuat kerjasama multi pihak atara Pemerintah,Pemerintah
Daerah dengan Perguruan Tinggi, Lembaga Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat, Ormas
dan lain-lain dalam
Pengelolaan Risiko Bencana;
6.
Mengintegrasikan
sistem infomasi komunikasi kebencanaan dengan
Multipihak.
7.
Akaselerasi tata kelola Risiko Bencana berbasis kawasan. Tindak lanjut
kawasan rawan bencana dalam Tata Ruang Nasional maupun daerah harus diwujudkan
melalui pemaduan perencanaan pembangunan.
Peserta
Diklat RLA Angkatan XI Tahun 2017
1.
Kementerian
Kesehatan;
2.
Kementerian
PUPR
3.
Kepolisian
Republik Indonesia
4.
BNPB
5.
BASARNAS
6.
BMKG
7.
Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta
8.
Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat
9.
Pemerintah Aceh